Kamis, 31 Mei 2012

Antara Surakarta dan Bawean



KIsah berikut ini dikutip dari cerita K.H.R. Abdurrachman, Sangkapura. Pada tahun 1720-1747 Pulau Bawean berada di bawah pemerintahan yang dipimpin oleh pangeran Purbonegoro, yaitu keturunan kelima dari Syeh Maulana Umar Mas'ud. Selain terkenal karena sangat bijaksana dalam memerintah rakyatnya, beliau juga terkenal akan kekhusukannya dalam menjalankan ibadah yang wajib maupun yang sunnah.

Konon pada waktu malam, karena kesibukan-kesibukan pekerjaannya pada siang hari, beliau baru bangun setelah masuk waktu subuh, sehingga shalat tahajjud yang selalu beliau kerjakan tidak dilaksanakannya. Agar hal yang demikian tidak terjadi lagi, maka beliau memerintahkan kepada penjaga masjid jami' Sangkapura supaya setiap pukul 12.00 malam atau tengah malam, beduk masjid dibunyikan. Bunyi beduk yang dipukul pada pukul 12.00 tengah malam itu disebut "Gendeng Debe". Namun, sejak masa penjajahan Jepang sampai sekarang "Gendeng Debe" itu sudah tidak terdengar lagi di kota Sangkapura.

Pada masa pemerintahan Purbonegoro, yang makamnya terletak di punggung Gunung Malokok, Pulau Bawean masih merupakan pemerintahan yang berdiri sendiri dan belum masuk di bawah pemerintahan penjajah. Beliaulah yang langsung berhubungan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa dan Madura, termasuk dengan raja Surakarta.

Menurut cerita yang berkembang di Bawean dan menurut orang Surakarta, pada suatu waktu raja di Surakarta akan mengawinkan puteranya. Kemudian shahibul bait telah menyebarkan undangan di sekitar istana, juga mengundang beberapa pembesar di Jawa dan Madura termasuk pula Pangeran Purbonegoro dari Bawean.

Bila berangkat dari Bawean ke Solo atau Surakarta, Pangeran Purbonegoro menaiki sebuah "jukong" khusus. "Jhukong" tersebut buatan tukang yang khusus pula diminta oleh Pangeran Purbonegoro menyiapkannya. Tukang tersebut kemudian dikenal dengan nama "Jujuk Tukang" yang makamnya terdapat di Pulau Gili, sebuah pulau di sebelah timur Pulau Bawean. (Kini jhukong itu tinggal tengkoraknya yang disebut PACALANG).

Singkat cerita, ketika Pangeran Purbonegoro tiba di Surakarta, semua tamu undangan juga sudah sampai disana. Mereka kemudian ramai berbincang perihal hadiah masing-masing yang akan dipersembahkan kepada Raja Surakarta yang punya hajat pernikahan akbar itu. Berbagai macam hadiah telah dipertunjukkan. Yang dari Madura tidak kalah menariknya. Beliau membawa sebatang pohon pisang yang berbuah. Buahnya satu tandan dan masak semua. Ternyata buahnya dapat mencukupi untuk dimakan para undangan yang hadir.

Akan halnya Pangeran Purbonegoro, lain lagi ceritanya. Beliau kesana tidak membawa sesuatu pun untuk dipersembahkan kepada raja sebagai hadiah. Setelah undangan yang hadir bertanya kepada beliau tentang hadiah yang akan dipersembahkannya, beliau menjawab bahwa beliau tidak menyiapkan apa-apa. Atas jawaban itu, di kejauhan tampak sebagian undangan yang mencemooh beliau. Namun beliau dengan tenang menghadapi hal itu....>>>>>>>>>>>Mau tahu kehebatan beliau?tunggu lanjutannya besok!ok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar